Petani Penggarap Lahan Eks HGU PTPN (Gapoktan Bagja Sutra) Konsisten Tanam Pohon Keras Guna Serapan Air

Ketua Harian Bagja Sutra, MG Lumintang
Kang Lulu menegaskan. kami Tetap menjaga fungsi ekologinya. Alam harus dijaga supaya masyarakat bisa sejahtera

Mitra News Sukabumi – Petani penggarap lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN di kawasan kaki Gunung Gede Pangrango, Desa Sudajayagirang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, akhirnya buka suara di tengah tudingan alih fungsi lahan yang disebut-sebut menjadi pemicu banjir limpasan di kawasan Salabintana pada 5 Desember 2025.

 

Perkumpulan Petani Penggarap yang tergabung dalam Bagja Sutra menegaskan bahwa banjir tersebut tidak bersumber dari aktivitas pertanian di lahan eks HGU yang mereka kelola. Penegasan itu didasarkan pada hasil inspeksi mandiri yang dilakukan pengurus bersama petani tepat saat hujan deras dan limpasan air terjadi.

 

Ketua Harian Bagja Sutra, MG Lumintang, mengatakan inspeksi dilakukan langsung di lapangan saat peristiwa berlangsung. Pemeriksaan tersebut bertujuan memastikan ada atau tidaknya aliran permukaan (run off) dari area pertanian menuju badan jalan.

 

“Secara kasatmata, warna air yang mengalir di jalan saat kejadian masih bening dan tidak menunjukkan adanya kandungan tanah yang tergerus. Kami juga turun langsung saat hujan untuk melihat apakah ada limpasan dari lahan pertanian ke jalan, dan hasilnya tidak ada,” ujar pria yang akrab disapa Kang Lulu kepada awak media, Rabu (17/12/2025).

 


 

Ia menambahkan, hasil inspeksi tersebut tidak hanya berdasarkan pengamatan visual, tetapi juga dilengkapi dengan dokumentasi lapangan berupa rekaman video dan data pendukung lainnya. Temuan itu, kata dia, sekaligus membantah anggapan bahwa banjir limpasan disebabkan oleh alih fungsi lahan yang tidak terkendali di kawasan hulu.

 

Kang Lulu menjelaskan, lahan eks HGU yang saat ini digarap para petani anggota Bagja Sutra justru ditata ulang dari kondisi terlantar menjadi areal produktif dengan pendekatan ekologis dan ekonomi. Pengelolaan lahan diarahkan agar tetap berfungsi sebagai daerah resapan air sekaligus memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakat.

 

“Yang kami lakukan bukan alih fungsi lahan secara membabi buta. Kami menata kembali lahan terlantar agar produktif, namun tetap menjaga fungsi ekologinya. Alam harus dijaga supaya masyarakat bisa sejahtera,” katanya.

 

Dalam praktiknya, para petani diwajibkan menjadikan lahannya sebagai hutan produktif berbasis tanaman keras. Komoditas utama yang dikembangkan antara lain alpukat, jeruk, kopi, dan apel, yang dinilai memiliki sistem perakaran kuat untuk mengikat tanah serta menyerap air secara optimal.

 

Sementara itu, tanaman semusim seperti sayuran dan palawija hanya dimanfaatkan sebagai sistem tumpang sari, sambil menunggu tanaman keras tumbuh dan menghasilkan. Pola tersebut diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan.

 

Terkait penyebab banjir, Kang Lulu menilai tingginya curah hujan menjadi faktor utama, yang diperparah oleh kondisi drainase di wilayah hilir yang tidak optimal. Ia pun mengajak seluruh pihak untuk tidak saling menyalahkan, melainkan bersama-sama menjaga lingkungan sesuai peran masing-masing.

 

“Petani di wilayah atas menjaga lahan dengan tanaman yang ramah lingkungan. Masyarakat di bawah juga harus menjaga saluran drainase dan tidak membuang sampah sembarangan. Lingkungan ini adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.

 

Ia juga berharap pemerintah pusat maupun daerah dapat melakukan mitigasi serta pemetaan wilayah secara lebih detail, terutama dalam menentukan zona yang layak untuk pertanian terbuka dan zona yang wajib dipertahankan dengan tutupan pohon. Langkah tersebut dinilai penting agar aktivitas ekonomi tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam jangka panjang

 

Peliput : Sun

Lebih baru Lebih lama